Mengenal Goa Pawon Saksi Pola Kemasyarakatan Purbakala



BANDUNG– Di daratan Bandung sekitar 5.000 – 9.500 tahun yang lalu terdapat sekelompok manusia yang bertahan hidup dengan berburu. Mereka mengikuti pergerakan hewan buruannya dari Cipatat di Barat hingga ke wilayah Dago Pakar di Utara.
Dengan menggunakan kapak batu para pemburu memburu sapi, gajah bahkan kera, lalu mengolah hasil buruan dengan api sebelum memakannya. Dengan gaya hidup begitu mereka memiliki rentang usia 18-35 tahun.
Berikut sekelumit ilustrasi kisah hidup manusia prasejarah dari hasil temuan Tim Observasi Balai Arkeologi Bandung, yang sejak Juli 2003 telah melakukan eskavasi (penggalian) hingga kini ditemukan lima kerangka manusia purba di Goa Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Tidak sulit menemukan Goa Pawon khusunya bagi yang berdomisili di Bandung. Sesampainya di sisi kanan Jalan Raya Padalarang Cianjur akan terlihat plang penunjuk situs. Dari situ lokasi masih harus ditempuh sekitar 2 kilometer melewati perkampungan.
Akses jalannya memang berkelok, menanjak dan menurun namun rata dan layak dilewati. Hanya saja lebar jalan hanya pas untuk dua mobil ukuran standar, membuat pengunjung pengguna mobil harus berhati-hati.
Berada di ketinggian 601 meter di atas permukaan laut, Goa Pawon terletak di puncak Bukit Pawon yang sempat  menjadi daerah penambangan batu kapur. Pemprov Jabar segera mengambil langkah penyelamatan dengan melarang penambangan batu di sekitar lokasi situs.
Untuk masuk ke pintu goa kaki harus meniti batuan kapur besar yang kasar, keras, namun berongga seperti karang. Pengunjung pun harus rela menahan sengatan aroma khas Goa Pawon yang mungkin belum pernah tercium sebelumnya. Goa dengan panjang 38 M dan lebar 16 M ini  memiliki 3 buah rongga layaknya kamar serta sebuah jendela alami di atas goa tempat masuknya cahaya matahari.
Letak kerangka manusia prasejarah berada di sisi utara goa dan dihalangi oleh pagar. Tulang manusia yang posisinya tidak jelas seakan meringkuk di sana hanya berupa replika. Menurut arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung Lutfi Yondri fosil kerangka asli di simpan di laboratorium kantornya.
“Lokasi dari replika fosil tetap kami pagari karena meskipun palsu replika dari kerangka manusia pawon ini tetap sangat berharga. Dari seluruh fosil kerangka yang pernah ditemukan sebagian sudah ada yang hancur namun dapat dipastikan fosil kerangka berjenis kelamin pria dan wanita,” ujarnya.
Menurut Arkeolog yang menyelesaikan studi pascasarjananya di bidang humaniora ini luas goa yang besar bisa memiliki beberapa fungsi di antaranya tempat hunian, perapian sekaligus pemakaman.
“Biasanya daerah pemakaman itu di ruang yang tertutup dan jarang dilalui, seperti tempat ditemukannya rangka,” katanya.
Tim peneliti arkeologi terus melakukan eskavasi di sejumlah Goa yang lokasinya berdekatan dengan komplek Goa Pawon. Tujuannya untuk menemukan petunjuk lain setelah hasil eskavasi menemukan obsidian, jasper hijau, dan batu andesit sebagai alat yang para manusia pawon gunakan untuk beraktivitas.
Selain itu ditemukan juga fosil yang diduga sebagai sisa makanan mereka di antaranya cangkang kemiri, tulang sapi, ikan laut, siput, kepiting, hingga rahang monyet.
Eskavasi pun masih dilakukan untuk menguatkan dugaan bahwa dahulu manusia prasejarah ini hidup berkelompok dan saling berinteraksi antar kelompok lain. Hipotesis ini muncul dengan ditemukannya obsidian berupa kaca beling yang digunakan sebagai alat pemotong. Padahal Goa Pawon sendiri berada di wilayah karst yang tidak memiliki sumberdaya bahan baku pembuat obsidian.
Obsidian yang sama pernah ditemukan di wilayah nagrek yang memang kaya akan silika sebagai bahan baku pembuatannya. Ada kemungkinan terdapat kelompok manusia prasejarah di daerah nagrek yang memproduksi obsidian dan menjualnya dengan sistem barter ke berbagai kelompok lainnya.
“Adanya fosil sisa makanan berupa kepiting dan ikan laut di Goa Pawon menunjukan pada masa itu kelompok manusia sudah melakukan transaksi, karena tidak mungkin terdapat kepiting dan ikan laut di sekitar Goa Pawon yang dahulu dikelilingi oleh rawa,” jelas Lutfi.
Wajar bila observasi terhadap situs purbakala ini terkesan lambat karena segala bentuk keterbatasan membuat Balai Arkeologi hanya mampu melakukan eskavasi selama 14 hari kerja dalam setahun.
Di samping itu tindakan vandalisme berupa perusakan sangat kentara di situs Goa Pawon. Menurut Ketua Masyarakat Cagar Budaya Indonesia (MCBI) Bambang Subarnas vandalisme tidak hanya perusakan fisik saja namun juga nilai budaya. Bambang sempat bingung saat menemukan patung Budha di komplek Goa Pawon Senin (1/3/2013) yang sempat digunakan untuk kepentingan syuting film nasional. Sebelum Bambang datang pun tidak ada informasi apa pun dari pengelola perihal keberadan patung Budha tersebut.
“Saya khawatir akan terdapat pemahaman yang salah mengenai kesejarahan manusia pawon yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan unsur keagamaan,” tandas Bambang.
Selain itu prasarana berupa fasilitas penerangan jalan menuju situs Gua Pawon nyaris tidak ada, sehingga akan cukup menyulitkan pengunjung yang akan pulang di sore hari mau pun para pecinta alam yang datang mengunjungi situs ini pada malam hari.
Seharusnya di tengah gencarnya upaya promosi pariwisata Gua Pawon, Pemda melengkapi fasilitas yang membuat nyaman wisatawan, salah satunya dengan menerangi akses jalan menuju situs yang menjadi bukti bahwa interaksi antar umat manusia telah berlangsung selama puluhan ribu tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA:


closeKLIK 2x UNTUK MENUTUP