Dari Gunung Wayang, Tempat Angin Dewata Berhembus


Kata wayang dalam Gunung Wayang yang berada di Selatan Bandung itu ternyata bukan berasal dari kata wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal dari kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan Yang atau Hyang artinya Dewa atau Tuhan. Jadi kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin sorgawi atau angin Dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang abadi.
 Gunung Wayang sudah dikenal sangat lama, sejak manusia leluhur Bandung memuja Tuhannya di kesunyian alam yang permai. DR. N.J. Krom (1914) melaporkan bahwa di salah satu puncak Gunung Wayang terdapat beberapa arca dari batu cadas yang pengerjaannya kasar, dan terdapat pula 40 arca lainnya. Dalam salah satu kuburan di sana terdapat pecahan-pecahan tembikar, kapak batu dan tembikar.
N.J. Krom juga melaporkan, di dekat hulu Ci Tarum terdapat guci-guci dan sebuah arca dengan mahkota (seperti sebuah meriam kuno).
Di sisi Perkebunan kina Argasari, Pacet, terdapat parit-parit pertahanan yang terbentuk rapi. Bila dilihat dari atas, terdapat pola-pola yang teratur mengikuti garis ketinggian yang kemudian dipapas untuk kepentingan pertahanan. Keadaannya masih terjaga, kecuali di beberapa tempat yang pernah dipakai untuk pembibitan kopi serta beberapa rumah yang berjajar di arah selatannya.
Bujangga Manik, rahib pengelana dari Kerajaan Sunda abad ke 15, dalam perjalanan pulang dari ekspedisi suci kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali, menyempatkan untuk mengunjungi tempat suci di Gunung Wayang.
Dalam daun lontar Bujangga manik menulis, dan ini kutipan terjemahannya dalam bahasa Indonesia (J. Noorduyn dan A. Teeuw):
“…Meuntas aing di Cisanti
Sananjak ka Gunung Wayang”
….
“ Aku menyebrang Cisanti
Mendaki ke Gunung Wayang.….”
   
Ini menunjukkan, bahwa Gunung Wayang dan sekitarnya sudah sangat dikenal sejak lama.
Pada tahun 1930-an Pangalengan sudah menjadi objek wisata yang terkenal karena pemandangan alamnya yang permai. Apel dan kapas yang bermutu tumbuh dengan baik di sini. Ditambah serta keasrian hotelnya, membuat Pangalengan menjadi sangat terkenal.
Nji Anah, Zangeres-Dichteres di Tjiandjoer, juru mamaos Cianjuran dan penulis dari Cianjur menulis pupuh yang kemudian menjadi buku panduan wisata, Beschrijving van Pangalengan en Omstreken yang dilengkapi dengan foto-foto dan peta berukuran besar yang sangat rinci.
    Dalam Pupuh Sinom, Nji Anah menulis:
….
Tanah ma’mur Pangalengan
Mun ku urang dikuriling
Atawa ditingalian
Palih ti wetan ngadingding
Watesna Gunung Bedil
Gunung Wayang Gunung Windu
Ngantay jadi sajajar
Jiga nu pairing-iring
Cek urang teh bade arangkat ka mana?
….
Tanah Makmur Pangalengan
Jika kita kelilingi
Atau sekedar dilihat
Sebelah timur mendinding
Batasnya Gunung Bedil
Gunung Wayang Gunung Windu
Berurutan sejajar
Seperti beriring-iring
Kata kita mau berangkat ke mana?
Dalam buku itu, Nji Anah pun menuliskan juga sakakala Gunung Wayang:
Tersebutlah seorang keturunan Ratu yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Dalam kehidupannya ia sering bersemedi di puncak Gunung Wayang yang sunyi. Sang Pangeran mempunyai seorang puteri cantik tiada tandingannya. Puteri Langka Ratnaningrum, namanya. Ia sudah mempunyai calon, pemuda keturunan Galuh. Gagak Taruna, namanya, yang sedang menempa diri dengan melakoni hidup bertani di lembah Ci Tarum yang subur. Pemuda yang rajin, siang bertani, malam bersemedi.
Padi tampak subur dan hasilnya pasti akan jauh lebih banyak dari panen musim lalu. Maka disepakati untuk segera menikah dengan putri pujaan hatinya.
Seperti biasa, ia sering bersemedi di makam Nyi Kantri Manik di hulu Ci Tarum. Malam itu terlihat datang gadis cantik yang tiada taranya. Gagak Taruna kaget. Diam-diam ia jatuh hati kepada gadis itu, namun si cantik segera menghilang di mataair. Sadar itu sekedar godaan, maka ia segera pulang. Namun pikiran dan hatinya masih terus terpaut kepada si cantik di hulu Ci Tarum.
Padi sudah menguning, tapi belum juga dipanen. Rupanya Gagak Taruna sedang kasmaran kepada bayangan si cantik. Semua merasa aneh, karena Sang Pangeran terlalu sering bersemedi di hulu Ci Tarum begitu magrib menjelang. Bukan tiada yang mengingatkan, namun pemuda itu sudah terpincut senyum yang sangat memikat.
Nyi Kantri Manik asalnya gadis yang cantik yang sakit hati hingga meninggalnya karena pemuda pujaan calonnya tidak menepati janji untuk bersatu. Kini ia selalu membalas dendam dan membeci semua lelaki yang lengah.
Sang Pangeran selalu diingatkan agar segera mempersiapkan diri karena waktu pernikahan sudah dekat. Padi yang sudah lama matang kemudian dipanen. Persiapan menikah besar-besaran sudah dipenuhi. Ketika waktunya tiba, iring-iringan seserahan bergerak menuju puncak Gunung Wayang tempat calon mertuanya berada.
Setelah calon pengantin pria dirias, ia memohon diri untuk melakukan nandran ke hulu Ci Tarum. Sesampainya di sana, ia menyuruh pengiringnya mundur dan segera menuju puncak Gunung Wayang, karena ia akan segera menyusul. Setelah kembang rampe, melati dan campaka ditebar, di seberang terlihat Nyi Kantri Manik tersenyum memikat. Dengan sigap Gagak Taruna berdiri, berjalan menuju ke tempat senyuman yang terus mengembang. Gagak Taruna terus berjalan di dalam air menuju bayangan hingga akhirnya tenggelam.
Di tempat calon pengantin wanita, semua gelisah menunggu, ke mana Gagak Taruna? Rombongan yang menyusulnya mendapatkan Sang Pangeran sudah mengambang.
Pangeran Jaga Lawang sangat prihatin. Ia melampiaskan rasa dukanya itu dengan mengobrak-abrik apa yang ada di dapur. Hawu/tungku dilemparkan dan perabot dapur dibanting. Makanan yang dimasak dilemparkan sampai habis, maka terbentuklah kawah Gunung Wayang.
Air yang mendidih dengan lalab-lalabannya dilemparkan membentuk kawah Cibolang di Gunung Windu.
Puteri Langka Ratnaningrum sangat bersedih, lalu berjalan tak tentu arah. Ternyata ia sudah berada di dalam hutan. Airmata darah terus mengucur. Itulah yang kemudian membentuk air terjun Cibeureum di Gunung Bedil.
Nayaga yang masih berharap Sang Pangeran datang tak mau pergi, maka berubahlah mereka menjadi arca. Sebagian alat-alat tabuhnya lemparkan, di antaranya membentuk Gunung Kedang.
Mayit Gagak Taruna dikubur di hulu Ci Tarum. Sementara itu Pangeran Jaga Lawang menempa diri menyepuh hati, menghyang di Gunung Seda, ia selalu menanti putri yang dicintainya segera pulang.
Oleh karena itu jangan heran, bila pada malam bulan purnama sering terdengar sayup-sayup bunyi gamelan. Itulah prosesi penyambutan pengantin pria. Bila terlihat asap Gunung Wayang mengepul berlapis-lapis, itu artinya keluarga pengantin perempuan sedang sibuk memasak.
Kini, Gunung Wayang–Windu sudah dimanfaatkan energi panasbuminya (geothermal), sehingga dapat menambah pasokan energi untuk Jawa-Bali. Panasbumi di sini akan panjang umurnya kalau pasokan air yang meresap ke dalam bumi terjaga. Sebaliknya, bila keadaan hutan di tangkapan hujan yang memasok air terus berkurang, maka dapat dipastikan umurnya akan berkurang.
Dari gunung inilah awal-mula air Ci Tarum berasal, bersih, suci, seperti nama mataairnya, Cisanti, air yang suci dan menyucikan

sumber
HALAMAN SELANJUTNYA:


closeKLIK 2x UNTUK MENUTUP